YOGYA, Jogjaaja.com - Akhir-akhir ini, polemik seputar jual beli seragam sekolah menjadi ramai, khususnya di Jogja. Sejumlah sekolah, sebagaimana dilaporkan oleh Ombudsman RI (ORI) DIY, ada yang mengeruk keuntungan Rp10 miliar dari “bisnis” ini.Padahal, jika merujuk regulasi, praktik ini jelas dilarang. Larangan soal Jual beli seragam sendiri tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan.Meski demikian, sudah menjadi rahasia umum jika praktik masih membudaya dan dinormalisasi oleh sejumlah sekolah, bahkan orang tua siswa sekalipun. Apalagi, jika masa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sudah dimulai, praktik ini makin menjadi-jadi. Asisten ORI DIY Bidang Penyelesaian Laporan, Rifqi Taufiqurrahman, menyebut bahwa beberapa sekolah punya banyak cara untuk “mengakali” praktik ini. Dengan kata lain, meski seragam sekolah harusnya diadakan secara mandiri oleh orang tua siswa, sekolah tetap saja punya dalih untuk menjualnya. “Biasanya, kenapa seragam itu jadi diperjualbelikan di sekolah? Salah satunya karena ada orang tua yang minta kepada sekolah untuk mengadakan,” jelas Rifqi, menuturkan salah satu penyebab jual beli seragam, Rabu (28/9/2022). “Mungkin saja para orang tua ini sibuk dan tidak sempat cari seragam untuk anak mereka. Alasan ini yang bikin sekolah tergiur untuk membantu. Padahal itu jelas salah dan menyalahi aturan,” sambungnya, menegaskan. Rifqi juga menekankan, bahwa jual beli seragam itu tidak berkaitan dengan adanya paksaan atau tidak. Dengan kata lain, bukan berarti jika orang tua bersedia bahkan meminta, lantas itu tidak menyalahi aturan. “Aturannya itu [PP No. 17 Tahun 2010] untuk keseluruhan. Mau wali murid tidak terpaksa sekalipun, beli seragam dari sekolah tetap tidak boleh. Aturan tidak terbatas pada mereka yang tidak terpaksa saja,” tegasnya.Rifqi juga membeberkan, salah satu modus “yang tenar” di sekolah, adalah jual beli seragam secara tidak langsung dengan melibatkan koperasi dengan dalih untuk pengembangan lembaga.&nbsp;Sebagian besar koperasi di sekolah tidak berbadan hukum karena tujuannya memang hanya untuk pembelajaran siswa tentang koperasi.Jadi, menurut Rifqi, koperasi itu dikelola siswa meski sudah pasti ada pengarahnya. Baik itu guru bahkan wakil kepala sekolah.“Namun, logikanya saja, apa iya ada siswa yang dititipi barang senilai jutaan rupiah oleh toko?,” katanya, melempar pertanyaan retoris.“Pasti ada yang tua, senior, yang dipercaya oleh toko. Kalaupun tujuannya pendidikan, tidak perlu menyerempet ke hal sensitif yang jelas diatur oleh negara,” bebernya.Ia menilai, tidak masuk akal apabila ada sekolah klaim koperasi dikelola oleh siswa secara keseluruhan. Apalagi, mereka kemudian menjual seragam.“Umur 16 tahun, jaminannya apa? Apa yakin tidak terjadi apa-apa kalau dititipkan begitu saja? Mereka kalau dituntut di ranah hukum tidak bisa. Makanya, pasti di koperasi itu ada yang dipercaya oleh toko,” terang Rifqi.Riqfi pun juga menjelaskan, salah satu modus untuk mengakali ini dengan melalui Paguyuban Oranf Tua (POT), yang berisi perwakilan wali murid. POT sendiri memiliki fungsi yang tidak jauh berbeda dengan komite sekolah. “Yang kami temukan, ya POT itu. Ini metode baru; komite sekolah sudah diatur dan POT ini yang belum diatur Maka, kami harap, ini bisa segera diatur, bukan dilarang. Biar mereka tidak bersinggungan dengan jual beli seragam,” tuturnya.Sementara itu, terkait dugaan keterlibatan koperasi dalam praktik jual beli seragam, Dewan Pendidikan DIY menyayangkan hal ini. Mereka memahami bahwa koperasi jelas ingin mengambil keuntungan. Namun, menurut mereka, harga-harga ini haruslah dalam batas yang wajar.“Koperasi juga jangan mark-up harga terlalu tinggi. Ambil keuntungan yang wajar saja,” ujar Ketua Dewan Pendidikan DIY, Sutrisna Wibawa, Rabu (28/9/2022).Mantan rektor UNY ini memahami, orang tua siswa pasti akan memilih untuk membeli segala kebutuhan sekolah di koperasi dengan alasan one stop shopping, lebih praktis. Ditambah, ada juga embel-embel untuk menghidupkan koperasi, yang menjadi daya dorong lainnya.<ul><li><a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://jogjaaja.com/read/fwd-insurance-dukung-umkm-lindungi-aset-terbesarnya-melalui-sme-connect">FWD Insurance Dukung UMKM Lindungi Aset Terbesarnya Melalui SME Connect</a></li><li><a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://jogjaaja.com/read/jicaf-2-jadi-ajang-ciptakan-pasar-baru-dan-tingkatkan-pengetahuan-tentang-produk-kreatif">JICAF #2 Jadi Ajang Ciptakan Pasar Baru dan Tingkatkan Pengetahuan tentang Produk Kreatif</a></li><li><a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://jogjaaja.com/read/pandemi-covid-19-transaksi-digital-bank-muamalat-melonjak">Pandemi Covid-19, Transaksi Digital Bank Muamalat Melonjak</a></li></ul>“Pastinya, harus ada opsi bahwa wali murid bisa membeli seragam dari luar, sesuai dengan budget mereka. Jangan sampai beli di koperasi itu justru dipaksa,” tegasnya. (Eff)

children-g42a3dc746_1280.jpg

YOGYA, Jogjaaja.com - Akhir-akhir ini, polemik seputar jual beli seragam sekolah menjadi ramai, khususnya di Jogja. Sejumlah sekolah, sebagaimana dilaporkan ole

Jual Beli Seragam Sekolah Jelas Dilarang Tapi Dianggap Biasa dan Nornal