Ada pemandangan yang berbeda di Makam Raja-raja Imogiri pada Jumat (27/9). Ribuan orang tampak memadati komplek pemakaman Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta ini. Mereka sengaja datang untuk mendapatkan air dalam tradisi nguras enceh atau menguras gentong.
Prosesi nguras enceh ini digelar pada Hari Jumat Kliwon di bulan Suro dalam penanggalan Jawa. Tradisi ini sudah berlangsung sangat lama. Prosesi diawali dengan memanjatkan doa melalui tahlilan.
Setelah tahlilan usai, para abdi dalam dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta mengambil air. Begitu enceh penuh dengan air, warga baru diperbolehkan mengambil air dari enceh tersebut dengan menggunakan botol yang mereka bawa.
Upacara ini selalu dihadiri banyak orang. Sebagian dari mereka ingin mengetahui makna upacara nguras enceh, namun sebagian lagi percaya air dari gentong ini bisa menyembuhkan penyakit dan menolak bala.
Nanik (40 tahun), seorang warga Wukirsari, Imogiri mengaku selalu mengikuti upacara nguras enceh ini sejak dirinya masih kecil. &ldquo;Saya datang ke sini untuk ngalap berkah. Soalnya sejak dulu, air dari enceh ini diyakini bisa membawa berkah,&rdquo; ungkapnya.
Ada empat enceh yang dibersihkan dalam prosesi ini. Masing-masing memiliki nama sendiri. Dua enceh milik Kasultanan Ngayogyakarta bernama Kyai Danumaya dan Nyai Danumurti. Sedangkan enceh dari Kasunanan Surakarta dinamai Kyai Mendung dan Nyai Siyem.
Keempat enceh ini merupakan persembahan dari kerajaan sahabat. Enceh milik Kasultanan Ngayogyakarta merupakan pemberian dari Raja Palembang dan Aceh. Sementara enceh milik Kasunanan Surakarta berasal dari Thailand dan Istanbul Turki.
Enceh-enceh ini dulu digunakan untuk wudhu Sultan Agung dan sekarang masih dilestarikan di Makam Raja-raja Imogiri.
&nbsp;

Tradisi nguras enceh masih mendapat sambutan antusias dari warga.

Nguras Enceh, Tradisi Lama yang Masih Terus Dilestarikan